Malam ini aku sebenarnya masih ingin bersama Kak Renosa terus. Tapi,
ternyata mama menjemputku. Padahal tadinya Kak Renosa berniat mengajak
aku pegi nonton konser setelah pulang dari pentas Pramuka. Terpaksa
gagal acara nonton konser bersama Kak Renosa.
Tapi kenapa aku jadi
kesal ya gara-gara acaraku dan Kak Renosa gagal? Nggak mungkin kan aku
ada rasa sama Pembina Pramukaku itu. Apa mungkin karena tadi siang aku
habis putus sama Putra, jadi aku ngrasa kesepian. Sehingga acara pergi
bersama Kak Renosa aku anggap sebagai obat sakit hati. Ah biarlah. Besok
perasaan ini pasti juga sudah hilang.
Oh Tuhan! Pagi ini Kak
Renosa mengirimi aku sms untuk membangunkanku dari mimpi. Kenapa aku
merasa keGRan begini? Apa mungkin gara-gara kejadian semalam, telah
menumbuhkan benih-benih cinta? Jangan sampai terjadi deh! Gak umum
banget kalau sampai terjadi.
Sejak sore, Kak Renosa sudah ngajak
aku smsan. Biasa, isinya cuma sekedar basa-basi. Aku pun juga tidak
terlalu peduli. Karena aku masih sedikit memikirkan Putra. Hingga
akhirnya aku benar-benar terkejut dan peduli dengan sms Kak Renosa yang
satu ini.
From:
K.Re : Y km gmn, mau ga. Eh seandai y km jd pacar q gt gmn y. Menurut km bs pa ga. Eh ni seandaine lo. Km mau pa ga ?
Satu sms ini sudah bikin aku langsung mau pingsan. Belum lagi sms
yang selanjutnya. Lalu di akhir sms, Kak Renosa benar-benar nembak aku.
OMG !!! Aku langsung cerita aja ke Laurent, sahabatku. Dan Laurent pun
sama gak percayanya kayak aku. Dia bahkan berkata,”Rhasya, Kak Re itu
masih termasuk guru kita!!! Umurnya pun pasti di atas 25 tahun.
Sedangkan kamu sendiri masih kelas 3 SMP. Emangnya kamu mau? Dan ingat,
Kak Re masih punya pacar.”
Aku pun memutuskan untuk menjawab
perasaan Kak Re besok. Tidurku nggak bisa nyenyak, bahkan Kak Re sampai
kebawa di mimpi. Aku terbayang-bayang wajah Kak Re terus.
Hari ini
aku ada pembinaan Pramuka tambahan selama 2jam. Otomatis aku bakal
ketemu Kak Re. Aku benar-benar belum siap untuk ketemu Kak Re. Karena
aku juga belum nyiapin jawaban perasaanku. Pada waktu ketemu di depan R.
Kepala Sekolah, Kak Re bertanya dengan keras,”Gimana jadinya?”. Aku
cuma bisa tersenyum. Di akhir pembinaan pun Kak Re juga menanyakan hal
itu lagi sambil menarik-narik tasku. Aku jadi semakin bingung. Aku belum
siap jawabannya. Tapi di sisi lain, sepertinya Kak Re serius nembak
aku. Cuma status kita itu Pembina dan murid. Jadi aku mesti mikir dua
kali untuk menjawab pertanyaan itu. Belum lagi Kak Re yang masih punya
pacar. Aku benar-benar nggak konsen seharian ini.
Pulang sekolah, Kak Re melanjutkan sms yang kemarin. Aduh, mau aku
balas tapi ragu-ragu, nggak dibalas malah kasihan Kak Re. Akhirnya aku
balas tapi dengan jawaban yang sama. Yaitu “Bingung”. Mau nggak mau aku
harus jawab besok pagi. Aku sudah janji sama Kak Re. Dan janji harus
ditepati. Dan malam ini aku kembali nggak bisa tidur lagi.
Esok
ini, aku sudah menunggu Kak Re di depan ruangannya. Tapi tiap aku mau
ngomong, aku selalu bimbang. Akhirnya kutunda hingga pulang sekolah.
Padahal, selama pulang sekolah aku sama Kak Re terus di sanggar Pramuka.
Entah kenapa aku masih bimbang juga. Aku pun pulang dengan perasaan
yang masih terbebani.
Akhirnya kuputuskan buat jawab lewat sms. Aku
tunggu beberapa jam, smsku belum dibalas-balas juga. Akupun berpikir,
mungkin Kak Re sudah lelah menanti jawaban dariku. Tapi sore harinya,
smsku dibalas juga. Lalu dengan segera, aku langsung jawab pertanyaan
Kak Re.
To:
K.Re : Qw jwb “IYA”…
Cuma 3 kata itu yang aku
kirimkan. Dan kita pun jadian juga. Awalnya, aku ngrasa nggak yakin
dengan kisah cinta ini. Baru 2hari jadian, aku sempat berpikir buat
mutusin dia karena faktor status. Tapi Laurent melarangku. Dia bilang
itu sama saja aku mempermainkan Kak Re. Akhirnya aku coba jalani semua
ini. Dan ternyata berhasil. Perlahan-lahan aku mulai terbiasa dengan
cara pacaran kita yang “Backstreet”. Walaupun begitu, ada satu yang
masih tertinggal di hatiku. Pacar Kak Re. Aku nggak mau dituduh yang
enggak-enggak. Aku sudah berusaha bilang pada Kak Re kalau aku nggak mau
diduakan. Tetapi Kak Re hanya bisa berkata,”Sabar.”
Tak terasa hubungan kita sudah 2 minggu. Dan di minggu kedua inilah
mulai timbul masalah. Sewaktu aku telepon Kak Re, dia cerita kalau
pacarnya tahu hubunganku dengan Kak Re. Aku pun takut setengah mati.
Apalagi pacarnya lebih tua daripada aku. Bisa-bisa aku dilabrak.
Sebenarnya ini juga salahku sendiri kenapa mau menerima Kak Re. Di
telepon itulah aku langsung mutusin Kak Re. Paginya, Kak Re bersikap
seolah tidak pernah putus. Aku sempat menghindar. Karena aku sendiri
nggak rela mutusin Kak Re. Pulang sekolah, Kak Re ngajak aku ngobrol.
Terus aku coba tegasin hubungan kita sekarang. Tapi Kak Re meminta untuk
tetap lanjut. Jujur, aku juga masih ingin bersama Kak Re. Aku pun
menerima Kak Re kembali.
Setelah kejadian itu, kupikir sudah tidak
ada lagi kejadian lain yang terjadi di antara kita. Tapi ternyata
dugaanku meleset. Seminggu kemudian saat aku baru saja bangun dari tidur
siang, tiba-tiba aku mendapat sms dari nomer tak dikenal. Setelah
kubaca isinya, aku langsung sadar kalau itu adalah sms dari pacar asli
Kak Re. Aku benar-benar takut kali ini. Tanpa pikir panjang, aku segera
mutusin Kak Re lagi lewat sms.
Ini benar-benar keputusan
terakhirku. Sejak saat ini dan selamanya, aku nggak mau dekat lagi sama
Kak Re. Walaupun sebagai muridnya. Aku sudah terlanjur sayang dan cinta
banget sama Kak Re, tapi sekarang aku juga sudah terlanjur sakit hati.
Aku benar-benar nggak mau lihat muka Kak Re lagi di sekolah.
Hari
ini, aku sengaja menghindar dari Kak Re. Tiap aku tahu Kak Re mau lewat
jalan yang sama kayak aku, aku selalu sembunyi di kelas terdekat. Sampai
istirahat pertama, aku berhasil menghindar dari Kak Re. Aku cuma
ngelihat mukanya dari jauh. Aku nggak pingin Kak Re tahu kalau aku masih
merhatiin dia.
Ketika aku duduk rame-rame dengan teman-teman
se-genk di kantin, Bu Yuni menyuruhku untuk fotocopy daftar nilai di
kantor. Ugh, sia-sia usahaku menghindar dari Kak Re hari ini. Karena di
sekolah, Kak yang biasa melayani untuk fotocopy. Berarti aku mau nggak mau harus
ketemu Kak Re juga. Pas sudah sampai di kantor, aku Cuma bilang
fotocopy, sedetikpun tidak memandang wajahnya. Lalu katanya, “Tinggal
aja dulu. Masih antri soalnya.”. Tanpa basa-basi aku langsung
meninggalkan kantor. Benarnya nggak sopan juga. Tapi kali ini aku nggak
peduli sama etika kesopanan kalau berhadapan sama Kak Re. Soalnya aku
benar-benar sakit hati. Setengah jam kemudian, aku mengambil fotocopyan
itu. Aku juga nggak bilang makasih sedikitpun. Dan saat aku membaca
mading, Kak Re kebetulan lewat dan memegang pundakku seraya
bertanya,”Nggak pulang tah?”. Tapi aku sama sekali menggubrisnya.
Benar-benar bukan sikap murid pada umumnya. Yah…Cinta ini juga tidak
semestinya. Hari pertama setelah aku putus dengan Kak Re begitu berat
bagiku. Malamnya aku langsung sms supaya besok bisa ngomong sebentar
cuma buat ngejelasin masalah ini.
Berhari-hari aku sudah berusaha
nyempetin waktuku buat ngomong sama Kak Re. Karena ku ngrasa ada yang
masih tertinggal di hatiku kalau aku nggak ngomong langsung sama Kak Re.
Tetapi berhari-hari juga Kak Re sibuk. Jadi gak ada waktu buat ngomong
sama aku.
Ya beginilah akhir kisahku dengan Kak Re. Yang hanya
menyisakan puing-puing hati yang sudah hancur. Tak terasa seminggu lebih
kulalui tanpa Kak Re. Entah kenapa bayangan Kak Re masih menghantui
hari-hariku. Mimpiku selalu dipenuhi kehadiran Kak Re. Semuanya tentang
Kak Re belum bisa hilang dari hatiku. Aku sudah berusaha mencobanya.
Rupanya sia-sia. Aku benar-benar masih sayang Kak Re.
Re lah
Suatu malam, Kak Re meneleponku. Dia berkata kalau dia juga masih
sayang aku. Tetapi dia bingung harus gimana. Dia bilang biar waktu saja
yang menjawab. Katanya, walaupun aku dulu cuma kekasih gelapnya, tapi
cinta dia sempat dalem ke aku. Kata-kata Kak Re malam itu semakin
membuat aku nggak bisa lupain dia.
Untuk waktu ke depan, aku nggak
mau pacaran dulu. Aku ingin menyimpan rasa sayangku ke Kak Re untuk
sementara waktu sampai aku benar-benar melupakannya. Biarlah semua yang
indah menjadi kenangan yang terus tersimpan dalam lubuk hatiku. Biarlah
yang pahit kubuang bersama rasa sakit hatiku ini. Cukup satu kali aku
merasakan pacaran dengan guru. Akan aku jadikan pengalaman yang tak akan
pernah terulang.
Buat semua yang baca kisah ini, jangan pernah
ditiru. Karena di akhirnya kalian bakal ngrasain susah sendiri.
Mencintai seseorang yang tidak selayaknya dicintai. Memendam cinta yang
tak semestinya. Berat sekali untuk diri kita.
- Sebuah kisah cinta nyata mengharukan.
Sebut saja namaku Putri, aku berusia 25 tahun saat kisah ini terjadi.
Kisahku mungkin klise, aku jatuh cinta pada seorang pemuda bernama
Panji. Dia adalah kakak kelasku saat kami masih sekolah di SMA yang
sama. Saat kelas tiga, dia pindah ke kota lain. Tetapi takdir
mempertemukan kami kembali di kampus yang sama, saat kami menempuh
kuliah S2. Ada satu hal yang selalu aku simpan dalam hatiku, aku jatuh
cinta padanya. Sejak masih duduk di bangku SMA, aku selalu curi-curi
pandang ketika jam istirahat. Kadang aku sengaja pamit ke toilet hanya
untuk melihatnya bermain basket saat kelasnya ada pelajaran olahraga.
Walaupun hanya menatapnya selama 5 menit, rasanya kebahagiaanku penuh
sepanjang hari. Remaja selalu malu-malu mengungkapkan isi hatinya,
apalagi aku yang memang punya sifat pemalu. Hampir tidak ada sinyal
cinta yang aku kirim padanya. Aku tidak seberani teman-temanku yang bisa
titip salam atau terang-terangan mengatakan suka pada cowok yang mereka
suka. Jadilah aku memendam perasaanku.
Mungkin ini masih cinta monyet, yang akan memudar seiring berjalannya
waktu. Dan suatu saat kelak, aku akan benar-benar jatuh cinta di tingkat
yang lebih serius dengan pria lain. Nyatanya perkiraanku salah.
Walaupun saat kuliah S1 aku sempat berpacaran dengan pria lain (namanya
Yanuar), aku tetap meletakkan kenangan akan Panji dalam hatiku. Singkat
cerita, saat aku mengambil S2, aku bertemu lagi dengan Panji. Takdir
tersebut membawaku pada rahasia yang terpendam. Hatiku kembali berdetak,
kembali merasakan indahnya jatuh cinta hanya dengan menatap kedua
matanya. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan dengan Yanuar. Beberapa
kali kami berada di kelas yang sama. Dia masih Panji yang ramah dan suka
bercanda. Hubungan kami tetap dekat, tapi tetap saja, tidak ada
keberanian untuk mengungkapkan rasa cintaku padanya. Bagaimana aku bisa
menyatakan perasaanku, ada Yanuar yang masih menjadi pacarku. Egois
memang, aku bahkan sering merasa bersalah pada Yanuar, tapi aku tidak
bisa membohongi hatiku. Jika saja Panji mengajakku untuk jadi
kekasihnya, atau bahkan istrinya, aku tidak akan menolak.

Sayangnya, takdir yang mempertemukan kami harus berakhir. Suatu hari, di
sebuah musim penghujan di akhir bulan Desember, Panji mengalami
kecelakaan. Dua hari dia dirawat di UGD, tetapi nyawanya tidak
tertolong. Dia pergi selama-lamanya. Duniaku hancur, setiap inci tubuhku
menjerit akan kepergiannya, aku bahkan tidak bisa lagi merasakan
sakitnya hatiku, seolah ada bagian tubuhku yang hilang, jika
diibaratkan, aku bagai guci yang pecah berkeping-keping. Aku hadir dalam
pemakamannya. Aku hadir dalam setiap acara doa yang dilakukan
keluarganya setiap malam. Di duka yang teramat sangat, ibu Panji
memintaku untuk menemaninya, setelah para tamu pulang.
"Mbak, mbak ini temannya Panji yang namanya Putri kan?" ujar wanita tua
itu. Aku bisa melihat ada duka mendalam di balik senyumnya. Aku
mengangguk, lalu wanita itu mengajakku ke sebuah ruangan, yang
menurutnya adalah kamar Panji. Wanita itu menceritakan sebuah rahasia
yang tidak aku ketahui.
"Anak ibu.. Panji, dia pernah bilang bahwa dia suka dengan Putri, cinta," lanjutnya.
Detik demi detik berlalu, aku mendengarkan pengakuan ibu Panji bahwa
putranya ternyata memendam rahasia. Ternyata selama ini Panji melakukan
hal yang sama denganku, diam-diam merahasiakan perasaannya. Bahkan sejak
masih di bangku SMA.
"Waktu itu Panji pernah bilang, sekarang Putri sudah punya pacar,
mungkin harus menunggu nak Putri putus dulu, baru dia berani jujur,"
lanjut ibu Panji dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Aku
tidak bisa menahan air mataku, aku menangis di dalam pelukan ibu Panji.
Aku menangis hingga dadaku terasa ingin meledak. Aku menyesal, sangat
menyesal. Aku tidak sempat mengatakan bagaimana perasaanku padanya.
Hingga detik ini, penyesalan itu masih ada. Masih mengganjal di dalam
lubuk hatiku yang terdalam. Rasanya bahkan jauh lebih berat dibandingkan
saat Panji masih hidup.
Kau bisa mendengar doa-doaku tiap malam, Panji? Aku merindukanmu.
ﻭَ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪُ